Kearifan Lokal Folklor Kebumen

Suara Merdeka-OTONOMI daerah telah mendorong pemerintah kabupaten dan kota serta masyarakat terus bergairah menggali semua potensi sosial dan ekonomi. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kebumen juga melakukan hal sama.

Sayang, pemerintah dan politikus masih cenderung berlomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD) ketimbang memberi perhatian kepada bidang lain.


Pemkab Kebumen, misalnya, dalam lima tahun terakhir ini terus menggenjot PAD supaya bisa mencapai angka Rp 60 miliar.
Pembangunan di Kebumen pun cenderung diarahkan ke sektor fisik dan infrasruktur.

Khususnya jalan dan jembatan. Sebab, sarana infrastruktur dipercaya akan menunjang perekonomian daerah. Jargon peningkatan pendapatan lebih berkibarkan dibanding, misalnya, sektor sosial, seni, dan budaya.

Pendeknya, tema besar otonomi daerah seolah hanya dilihat dari sisi ekonomi. Lalu di mana perhatian Pemkab Kebumen kepada potensi sosial budaya masyarakat? Dalam konteks ini, kita patut prihatin. Padahal, semestinya potensi sosial budaya tidak boleh diabaikan.

Ini mengingat harmonisasi dan kreativitas masyarakat akan terwujud jika ada keseimbangan pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial budaya. Pembangunan ekonomi yes. Namun pembangunan sumber daya manusia, moral, dan nilai-nilai kearifan lokal pun tak boleh diabaikan.

Karena itu perhatian pemerintah terhadap budaya dan nilai-nilai tradisi perlu ditingkatkan. Memang Dinas Pariwisata dan Budaya (Parbud) Kebumen telah mencoba menginventarisasi berbagai potensi seni dan budaya lokal.

Termasuk, mengumpulkan cerita lokal atau cerita rakyat yang sering disebut sebagai folklor. Langkah Dinas Pariwisata dan Budaya tersebut tentu patut didukung. Mengingat, folklor atau cerita rakyat sesungguhnya mengandung banyak nilai kearifan lokal. Folklor juga bisa menjadi sumber sejarah lisan tentang asal usul dan aspek kekayaan historis daerah Kebumen.

Apalagi daerah yang meliputi 26 kecamatan dan 460 desa serta kelurahan ini sangat kaya cerita rakyat. Di antara yang telah dikenal, kisah ’’Dinasti Kolopaking’’, ’’Dinasti Arungbinang’’, hingga kisah babad seperti ’’Babad Karangsambung’’, ’’Babad Kebumen’’ dan lainnya.

Jika kita mau menelusuri lebih dalam, folklor tersebut intinya mengandung ajaran tentang sejarah dan kebesaran dinasti pendahulu Kebumen. Memang, di antara babad dan kisah sejarah lisan itu sering dikritik hanya menonjolkan peran dinastinya.

Ajaran Kehidupan

Namun tentu saja banyak ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dari setiap nukilan kisah rakyat itu. Sebut saja kisah Dinasti Kolopaking yang dianggap lebih memihak pribumi atau rakyat Kebumen. Namun juga tidak boleh diabaikan, peran Dinasti Arungbinang pada periode tertentu tidak kalah heroik.

Juga ada penggalan tokoh lokal dari bawah yang berjuang lalu mampu tampil sebagai penguasa. Misalnya, sosok Joko Sangkrib, tokol lokal dari Kutowinangun ini bahkan pernah ikut andil dalam kepindahan Keraton Kartosuro ke Surakarta. Ia dikenal dengan nama Tumenggung Honggowongso.

Tumengung Honggowongso alias Joko Sangkrib juga pernah menjadi Bupati Karanganyar di Karesidenan Surakarta. Dalam folklor Kebumen, Joko Sangkrib bisa sukses meniti karier dari bawah menjadi raja karena didukung istrinya, Dewi Nawang Wulan (makhluk halus), yang dalam folklor itu juga dianggap pengikut setia Kanjeng Ratu Kidul. Bahkan petilasannya masih terawat dan sering dikunjungi warga di Padepokan Bulupitu, Kutowinangun.

Folklor dari pinggirian Kebumen juga tidak kalah menarik. Sebut saja kisah akhir masa kehidupan legenda Untung Suropati. Konon tokoh kelahiran Bali ini di akhir hidupnya dipercaya warga Karanggayam mandita dan menyamar sebagai rakyat biasa di Desa Clapar, Kecamatan Karanggayam di Kebumen utara.

Untung Suropati lebih dikenal dengan nama sepuh Mbah Kepadangan. Pengikut dan anak cucunya sampai sekarang masih eksis. Konon, semasa akhir hidupnya Mbah Kepadangan banyak menolong rakyat dan orang susah.

Petilasan dan makam di Desa Clapar pun sampai sekarang  masih terawat dan diziarahi warga.
Tentu masih banyak cerita rakyat di Kebumen perlu diidentifikasi dan dicatat sebagai kisah sejarah yang mengandung berbagai ajaran dan nilai-nilai kearifan lokal. Misalnya, kisah padepokan Pandan Kuning di Petanahan, legenda Pantai Karangbolong, kisah Gua Jatijajar dan sebagainya. 

Mengutip ahli antropologi UI Prof Dr James Danandjaya, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun. Warisan kolektif secara tradisonal itu tidak hanya di pusat kerajaan (keraton), namun juga ada di daerah hingga pedesaan.

Menurut Danandjaya, banyak kegunaan folklor. Di antaranya dalam kehidupan bersama sebagai sarana identitas lokal, media pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terendam. Lebih dari itu, foklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Nah, jika kita ingat pada masa kecil dulu kakek nenek atau orang tua kita punya kebiasaan mendongeng, tentu foklor pun patut kita lestarikan. Banyak kisah dongeng dan cerita dalam budaya tutur kita (oral) sesungguhnya juga mengadung sari pati kehidupan.

Cerita rakyat perlu diidentifikasi, dilestarikan dan didokumentasikan karena sangat membantu kekayaan budaya lokal kita dan mengandung kearifan lokal. Mulai dari sisi nilai budaya, pesan moral hingga sejarahnya. Tentu tidak hanya tugas Pemkab Kebumen, namun juga dinas pariwisata dan budaya, dinas pendidikan, para pemerhati hingga pendidik.

Folklor Kebumen yang tersebar di berbagai tempat saatnya kini diangkat kembali sebagai warisan kolektif kebudayaan daerah. Makin sering dilakukan pengkajian dan penelitian kisah rakyat di daerah, akan memberi kontribusi berarti bagi identitas daerah tersebut. (35) 

—Komper Wardopo, wartawan Suara Merdeka di Kebumen, sedang menempuh S2 di UNS  

0 komentar:

Posting Komentar