Setengah Hati Kelola RSPD

19 Desember 2011 Oleh Asep Cuwantoro
    Suara Merdeka-HIDUP enggan mati tak mau, kiranya istilah tersebut tidak terlalu berlebihan apabila disematkan pada radio siaran pemerintah daerah (RSPD) saat ini. Melihat kondisinya, tak ayal stasiun radio itu kini semakin ditinggalkan para pendengarnya, padahal dulu jaya dan  memiliki pendengar setia. Meski harus kita akui beberapa stasiun radio pelat merah itu masih mampu mempertahankan kejayaannya.

    Setelah pengesahan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terjadi perubahan paradigma dunia penyiaran, dari sentralistik menuju demokratisasi penyiaran. Semangat yang diusung, salah satunya adalah perubahan/ konversi RSPD menjadi lembaga penyiaran publik (LPP) lokal. RSPD  yang dikenal sebagai corong pemerintah, paradigmanya diubah menjadi LPP lokal yang dibentuk untuk menyuarakan aspirasi publik.
    Konversi itu disinyalir menjadi salah satu penyebab kurang seriusnya pemda dalam mengelola stasiun radio itu. Kebanyakan stasiun radio dikelola oleh PNS dan tenaga honorer dengan kompetensi broadcast radio sedang-sedang saja. Padahal, pesatnya dunia keradioan menuntut SDM kreatif dan unggul. Di samping itu, sering terjadi pergantian PNS, menyebabkan pengelolaan stasiun itu tidak fokus dan tidak tuntas.
    Faktor lain penyebab kemunduran, yaitu kurangnya motivasi untuk maju dan bersaing dengan radio swasta. Selama ini pendanaan bersumber dari APBD. Meski ditarget PAD tiap tahun, gairah stasiun radio itu untuk menggaet pengiklan tidak segencar yang dilakukan radio swasta. Padahal aturan membolehkan beriklan maksimal 15% dan bagi radio swasta maksimal 20% dari total waktu siarannya.
    Suntikan dana APBD rupanya juga meninabobokan pengelola karena tidak terlalu khawatir tidak dapat bersiaran meski tanpa iklan. Berbeda dari radio swasta yang tidak dapat hidup tanpa iklan. Adanya target iklan tentunya memacu inovasi dan kreativitas dalam membuat program siaran agar banyak didengar oleh masyarakat. Ketika radio tersebut mendapat tempat di hati pendengar maka pengiklan tidak akan ragu mempromosikan produknya.
    Di Jawa Tengah terdapat 32 RSPD. Tiga daerah yaitu Kota Semarang, Surakarta, dan Kabupaten Banyumas tidak memiliki RSPD/ LPP lokal karena sudah ada LPP RRI. Data dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah, baru 1 RSPD yang sudah mengonversi menjadi LPP lokal dan mendapatkan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) lokal yaitu Radio Buana Asri Sragen.
    Tanpa Izin
    Empat stasiun radio mendapat IPP uji coba yaitu Radio Kota Batik Kota Pekalongan,  Swara Kendal, Irama FM Purworejo, dan In FM Kebumen. Sisanya masih dalam proses izin dan sebagian lagi belum mengajukan izin.
    Selama ini mayoritas RSPD mengudara dengan mengantongi izin dari Dinas Perhubungan Jawa Tengah. Izin berlaku rata-rata sampai 2009 dan tidak dapat diperpanjang lagi. Dengan begitu, mulai 2009 sampai sekarang RSPD dan juga sebagian radio swasta mengudara tanpa izin resmi dari pemerintah. Penggunaan frekuensi tanpa izin dari pemerintah menjadi salah satu penyebab karut-marutnya dunia penyiaran di Jawa Tengah.
    Sebenarnya tahun 2008 Kementerian Kominfo membuka perizinan bagi lembaga penyiaran, termasuk di dalamnya RSPD/ LPP lokal. Kenyataannya, sampai saat ini, baru sebagian yang memproses perizinannya, tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi pengelola dan pemda. Padahal, bagi RSPD/ LPP lokal hampir dapat dipastikan pengajuan izinnya diterima karena kanal sudah tersedia.
    Sesuai dengan PP Nomor 11 Tahun 2005, 20% dari ketersediaan kanal/ frekuensi pada tiap wilayah layanan siaran diperuntukan LPP RRI, dan bila tidak mengajukan maka bisa digunakan untuk LPP lokal. KPID Provinsi Jawa Tengah pada dasarnya terbuka dan siap membantu konversi RSPD menjadi LPP lokal.
    Komitmen ini terekam dalam pertemuan yang difasilitasi KPID dengan RSPD. Dari sharing pertemuan tersebut yang jadi kendala mendasar konversi adalah pembentukan perda LPP lokal, yang merupakan persyaratan utama pendirian. Kendala ini seharusnya tidak terjadi bila ada komitmen dari eksekutif dan legislatif menyukseskan konversi itu. (10)

    — Asep Cuwantoro MPd, Direktur Lembaga Kajian Pendidikan dan Kebudayaan, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati

    0 komentar:

    Posting Komentar